Pendahuluan
Sejarah bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjuangan para ulama. Sebagai tokoh agama, ulama memiliki peran ganda yang sangat strategis, yaitu sebagai pemimpin spiritual sekaligus tokoh masyarakat yang memberikan solusi atas berbagai persoalan umat. Dalam konteks penjajahan, ulama tidak hanya memberikan panduan moral dan agama kepada masyarakat tetapi juga menjadi motor penggerak perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Mereka menyadarkan masyarakat akan pentingnya kebebasan dan hak-hak dasar manusia sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Perjuangan para ulama melawan penjajah berlangsung dalam berbagai bentuk, mulai dari perlawanan fisik di medan perang hingga gerakan intelektual melalui pendidikan. Pesantren menjadi pusat pengkaderan generasi muda yang tidak hanya berilmu tetapi juga memiliki semangat kebangsaan yang kuat. Selain itu, melalui diplomasi dan negosiasi, ulama turut memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia di kancah internasional. Peran mereka tidak hanya berakar pada doktrin agama tetapi juga bertumpu pada semangat nasionalisme yang universal.
Artikel ini mengupas secara rinci peran ulama dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia dengan pendekatan historis dan landasan agama. Pembahasan mencakup kontribusi ulama dalam memimpin perlawanan, membangun pendidikan, mempersatukan bangsa, serta mewariskan nilai-nilai perjuangan kepada generasi penerus. Melalui kajian ini, kita dapat memahami bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah tetapi juga memberikan inspirasi bagi perjuangan melawan ketidakadilan.
1. Ulama dan Perlawanan terhadap Penjajahan
Sejak awal penjajahan di Nusantara, ulama telah tampil sebagai motor penggerak perlawanan. Salah satu contoh monumental adalah Perang Diponegoro (1825–1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Sebagai seorang ulama dan bangsawan, Diponegoro mengobarkan semangat jihad melawan ketidakadilan penjajah Belanda. Perang ini melibatkan ratusan ribu rakyat yang terinspirasi oleh seruan jihad untuk membela tanah air.
Dalam QS. Al-Baqarah: 190, Allah berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Ayat ini sering menjadi rujukan dalam memobilisasi perlawanan, menekankan pentingnya melawan kezaliman dengan cara yang berlandaskan nilai-nilai keadilan.
Selain itu, peran ulama juga terlihat dalam Perang Aceh (1873–1904). Tokoh seperti Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dhien, bekerja sama dengan ulama Aceh untuk mengobarkan perlawanan. Para ulama tidak hanya menjadi pemimpin spiritual tetapi juga menjadi pemimpin militer, seperti yang dilakukan oleh Tengku Chik Di Tiro.
2. Pesantren sebagai Basis Pergerakan
Pesantren telah menjadi salah satu elemen kunci dalam pergerakan nasional. Ulama mendirikan pesantren tidak hanya untuk menyebarkan ilmu agama tetapi juga untuk membangun kesadaran nasionalisme. K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), adalah contoh ulama yang menggunakan pesantren sebagai basis perjuangan.
Pada masa penjajahan Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945, yang menyerukan umat Islam untuk membela kemerdekaan Indonesia. Resolusi ini menjadi dasar perjuangan dalam Pertempuran 10 November di Surabaya, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Resolusi jihad tersebut didasarkan pada pemahaman hadis Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang mati karena membela hartanya, maka ia mati syahid. Barang siapa yang mati karena membela keluarganya, maka ia mati syahid” (HR. Abu Dawud).
Pesantren juga menjadi tempat lahirnya tokoh-tokoh nasional seperti K.H. Wahid Hasyim, yang kemudian berperan penting dalam perumusan Piagam Jakarta, dan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang mendorong pembaruan Islam di bidang pendidikan dan kesehatan.
3. Ulama dan Nasionalisme dalam Keberagaman
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya membutuhkan tokoh-tokoh pemersatu, dan ulama mengambil peran ini dengan sangat baik. Dalam konteks perjuangan, ulama mengedepankan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) sebagai bentuk manifestasi cinta tanah air. K.H. Wahid Hasyim sering menekankan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman, sebagaimana disiratkan dalam spirit hadis: “Hubbul wathan minal iman.”
Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda mendapatkan dukungan dari berbagai tokoh agama, termasuk ulama. Mereka menyadari bahwa perjuangan untuk kemerdekaan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus bersatu dalam keberagaman. Dukungan ulama terhadap Sumpah Pemuda menunjukkan keterbukaan dan semangat nasionalisme mereka.
4. Ulama sebagai Diplomat dan Negosiator
Selain di medan perang, ulama juga berperan dalam arena diplomasi. Salah satu tokoh yang dikenal karena kecerdasannya dalam berdiplomasi adalah K.H. Agus Salim. Beliau adalah tokoh Muhammadiyah yang aktif dalam pergerakan nasional dan menjadi delegasi Indonesia dalam berbagai konferensi internasional. Keahliannya dalam berbicara dan pemahaman mendalam tentang Islam menjadikan beliau tokoh yang disegani di dunia internasional.
K.H. Agus Salim sering mengutip QS. An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Ayat ini menjadi pedoman dalam berdiplomasi dengan bangsa lain untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia.
5. Warisan Ulama untuk Generasi Masa Kini
Perjuangan ulama meninggalkan warisan besar bagi bangsa Indonesia. Mereka mengajarkan bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah ritual tetapi juga panduan hidup yang menyentuh semua aspek, termasuk perjuangan melawan ketidakadilan. Ulama masa kini diharapkan melanjutkan tradisi ini dengan menjawab tantangan zaman seperti radikalisme, ketimpangan ekonomi, dan krisis moral.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya mengatakan, “Islam mengajarkan kita untuk hidup damai dalam keberagaman. Ulama di masa lalu menunjukkan bagaimana kita bisa memadukan Islam dan nasionalisme untuk kebaikan bersama.” Pendapat ini mengingatkan kita bahwa perjuangan ulama tidak hanya relevan pada masa lalu tetapi juga menjadi inspirasi untuk masa depan.
Kesimpulan
Peran ulama dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia adalah salah satu babak penting yang menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan sosial. Para ulama, dengan segala keterbatasan yang ada, mampu membangun kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya melawan penjajahan. Mereka memadukan nilai-nilai Islam dengan semangat kebangsaan, membangun kesatuan dalam keberagaman, serta mengajarkan bahwa perjuangan bukan hanya soal fisik tetapi juga menyangkut intelektual dan moral.
Warisan perjuangan ulama tidak hanya relevan untuk masa lalu tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi masa kini dan masa depan. Tantangan zaman yang terus berubah, seperti radikalisme, intoleransi, dan krisis identitas, membutuhkan kehadiran ulama sebagai pemimpin moral dan intelektual. Sebagaimana para ulama terdahulu yang berdiri di garis depan perjuangan, generasi ulama masa kini harus mampu mengambil peran strategis dalam menjaga persatuan bangsa dan menjawab tantangan global dengan hikmah dan kebijaksanaan.
Sejarah telah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya hasil perjuangan fisik tetapi juga perjuangan nilai-nilai luhur yang diemban oleh para ulama. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga warisan tersebut agar semangat perjuangan mereka tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR. Tirmidzi), maka peran ulama dalam memimpin umat tetap menjadi kebutuhan sepanjang masa.