Di antara para Nabi dan Rasul, nama Musa bin Imron As, dikenal sebagai salah satu Nabi ulul azmi. Para Nabi dan Rasul di kelompok ini, berada di derajat tinggi dalam pandangan Allah dan makhluk-Nya.
Nama Nabi Musa paling sering disebut dalam banyak Kitab Suci. Bahkan, Alqur’an mencatat tak kurang dari 136 kali. Terbanyak di antara nabi-nabi lain. Ia bahkan mengalahkan Ibrahim As. Kakek buyut Nabi Muhammad ini “cuma” disebut sebanyak 69 kali dalam Alqur’an.
Ada sebuah riwayat menuturkan soal hubungan “personal” Musa As dengan Tuhan. Demikian akrab, hingga Musa As. dapat kapan saja berkomunikasi dengan Tuhan. Dia bisa ngobrol dan mengadukan apa yang dia mau.
Karena maqomnya itu, Musa As lalu dikenal dengan julukan Kalimullah–orang yang diajak berbicara langsung oleh Tuhan. Dari sekian kali obrolan itu, ada riwayat yang mengisahkan soal catatan amal ibadah Musa As yang “dipertanyakan” Tuhan.
Dalam sebuah munajat, demikian kisah ringkasnya, Musa ditanya Tuhan. Kurang lebih begini, “Musa, banyak benar ibadahmu. Manakah ibadah yang akan kauhadiahkan kepada-Ku?” tanya Tuhan.
Nabi Musa terperanjat. Dia niatkan dan lakukan semua ibadah untuk Tuhan. Kenapa Tuhan bertanya seperti itu. Satu demi satu Musa menyebut jenis ibadah. Dari salat, puasa, sedekah, zikir dan kurban. “Hajiku juga untuk-Mu ya, Rabb.” Tapi Tuhan menukas. “Itu semua untukmu.”
Musa As sedih. Tubuhnya ambruk. Dua lututnya bergetar keras. Lunglai. Dengan suara tercekat, ia memohon agar Tuhan menunjukkan ibadah dan amalan yang dapat dipersembahkan untuk-Nya. “Berkhidmahlah kepada hamba-hamba-Ku,” ujar Tuhan.
Dia mengajari Musa apa dan bagaimana cara memberi hadiah kepada Tuhan. Dia menunjuki Musa di mana bisa setiap saat dapat bertemu Tuhan. “Carilah AKU di tengah-tengah mereka yang hatinya terluka.”
Semua ibadah dalam Islam, didisain Tuhan menjadi fasilitas formal seorang hamba berdekatan dengan-Nya. Semua ibadah mahdah, adalah manual khidmah yang ditetapkan Tuhan dan Nabi agar manusia merasa mudah beribadah. Termasuk ibadah haji.
Haji diibaratkan sebuah rangkaian latihan yang diajarkan agama tentang bagaimana seorang hamba meniti jembatan kematian. Jembatan ini adalah titian menuju kampung halaman.
Kampung halaman itu adalah Allah SWT. “Tsumma Ilayya Marji’ukum–Lalu kepada-Ku lah kalian akan pulang,” sebut Tuhan dalam sebuah firman. Haji adalah perjalanan mudik. Dalam mudik itu, para jemaah haji ingin membawa hadian terbaik bagi keluarga di kampung.
Mereka ingin agar hadiah-hadiah itu dapat membuat orang-orang tersayang bahagia. Dan, Tuhan adalah kampung halaman para hujjaj. Mereka ingin agar ibadah haji bisa dijadikan sebagai hadiah terbaik untuk Tuhan.
Tapi ternyata, ibadah haji itu justeru untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti wahyu-Nya kepada Musa As., nun di atas sana, Tuhan menyapa jemaah haji, “Yang mana ibadah haji kalian yang dapat kalian persembahkan untuk-Ku?”
Para jemaah haji akan tersungkur di hadapan Tuhan. Sebab, mereka mengira itu semua dilakukan untuk Tuhan. Mereka merasa bahwa lantunan talbiyah adalah sambutan atas seruan Tuhan.
Dalam pandangan agama, jika jemaah dapat melakukan haji sesuai tuntunan, tidak menyalahi kaifiyatnya, sesuai rukun dan memenuhi syarat-syarat diterimanya, maka mereka akan memperoleh janji Allah.
Mereka akan mendapat ; penghapusan dosa, masuk surga jika hajinya mabrur, bisa memberi syafaat kepada 400 anggota keluarganya, dicatatkan pahala pada setiap jejak kendaraan jamaah haji, jadi tamu Allah yang doanya mustajab, dan janji akan terbukanya pengampunan dosa.
Lalu akan memperoleh garansi ampunan bagi orang yang dimintakan ampun oleh jamaah haji, mendapat jaminan kesehatan lahir dan batin di dunia, ada jaminan bebas hisab di Padang Mahsyar, atau para jemaah haji akan meninggal dan dibangkitkan dengan talbiyah.
Semua itu adalah balasan bagi haji yang diterima. “Itu semua untuk.” Kini saatnya jemaah haji memberi hadiah untuk Tuhan. Hadiah yang membuat Tuhan senang. Hadiah itu berupa khidmah kepada sesama.
Khidmah dalam bentuk tidak menyakiti jemaah lain agar mendapat fadilah-fadilah sunnah dalam rangkaian haji. Tidak menyikut sesama jemaah untuk dapat mencium hajar aswad.
Tidak memaksakan diri untuk dapat pahala salat arbain, dan berdesakan di raudhah, abai menjaga kesehatan hingga lewat kesempatan berdialog dengan Tuhan di Arafat, Muzdalifah dan Muna. Tidak berempati kepada jemaah lain yang kesusahan. Tidak peduli akan sekitar. Padahal, di sanalah Tuhan sedang menunggu.
Di ujung tawaf wada’, akan terdengar suara dari langit, “Duhai, tamu-tamu Allah ! Mana hadian kalian untuk-Nya.” Wallahu A’lamu. (Ishaq Zubaedi Raqib–MCH Daker Makkah Al Mukarramah)