Penulis : Shafa Rahmadiena Maulany, S.Pd.
Guru Konseling SMP Islam KH. Ahmad Badjuri Campurdarat
Mental health atau kesehatan mental adalah elemen yang sangat penting dalam kehidupan siswa, terutama selama masa SMP. Pada periode ini, mereka berada dalam fase transisi dari anak-anak menuju dewasa, yang ditandai dengan berbagai perubahan fisik, sosial, dan emosional yang signifikan. Sayangnya, transisi tersebut sampai saat ini masih kerap menimbulkan permasalahan mental health di kalangan siswa SMP. Padahal ditinjau dari aspek Bimbingan dan Konseling, siswa SMP seharusnya mampu mencapai Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) terkait aspek kematangan emosi. Dalam hal tersebut, mereka harus mampu mengenal cara-cara mengekspresikan perasaan secara wajar, memahami keragaman ekspresi perasaan diri dan orang lain, serta mengekspresikan perasaan atas dasar pertimbangan kontekstual (Kemendikbud, 2016).
Prevalensi masalah mental health dibuktikan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada remaja usia 10–17 tahun di Indonesia, dimana ditemukan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah mental health, sementara 1 dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja (Gloriabarus, 2022). Selain itu, secara spesifik banyak berita yang telah kita baca atau dengar, salah satunya adanya upaya percobaan bunuh diri siswa SMP yang nekat lompat dari lantai 3 gedung kelas 7, bahkan hingga mengakhiri hidup di rel kereta api (Adri, 2024; Muda, 2024). Temuan tersebut menunjukkan bahwa krisis mental health telah menjadi masalah serius.
Adapun gelaja masalah mental health menurut Rompegading, dkk (2023) di antaranya ditandai dengan: 1) perubahan mood yang ekstrem, 2) kesulitan tidur, 3) kehilangan minat pada aktivitas, maupun 4) kesulitan konsentrasi. Krisis mental health dapat terjadi akibat berbagai faktor, di antaranya adanya tekanan akademis yang berlebihan, isolasi sosial, pelecehan oleh teman sebaya, stigma terhadap bantuan psikologis, cyberbullying, serta pengaruh lingkungan keluarga. Kompleksitas dari penyebab-penyebab tersebut menjadikan upaya penanganan krisis mental health di kalangan siswa SMP sangat penting (Mokodenseho, dkk, 2023).
Mokodenseho, dkk (2023) menuturkan bahwa dampak yang terjadi dari krisis mental health, di antaranya siswa menjadi lebih rentan mengalami kecemasan dan kehilangan percaya diri akibat berita atau kejadian bunuh diri yang mereka dengar atau saksikan. Selain iu, stigma negatif terhadap mental health semakin meningkat, membuat siswa yang sebenarnya membutuhkan bantuan menjadi enggan mencarinya. Di samping itu, risiko efek tiru (copycat effect) juga dapat memicu lonjakan kasus tersebut.
Tingginya krisis mental menuntut adanya intervensi yang terarah untuk mengatasi tantangan-tantangan spesifik yang dihadapi oleh siswa SMP. Salah satu faktor signifikan yang teridentifikasi adalah tekanan akademis, yang menunjukkan perlunya menciptakan keseimbangan antara ekspektasi akademis dan kesejahteraan siswa. Selain itu, juga menyoroti peran vital sistem pendidikan dalam mempromosikan kesejahteraan emosional, dengan rekomendasi untuk pelatihan guru, peningkatan layanan konseling di sekolah, dan integrasi pendidikan mental health ke dalam kurikulum (Karisma, dkk, 2023).
Karisma, dkk (2023) juga menuturkan bahwa dalam dinamika lingkungan sosial, ditekankan pentingnya penerapan strategi yang terfokus pada kolaborasi dengan keluarga dan masyarakat, serta evaluasi dan pemantauan yang berkelanjutan, guna mempertahankan dan meningkatkan sistem dukungan bagi siswa. Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi tersebut, sistem pendidikan diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung, mendorong kesejahteraan emosional, dan mendukung perkembangan siswa secara keseluruhan.
Daftar Rujukan
Adri, Aguido. (2024). Siswa SMP Bunuh Diri di Cikarang, Tambah Daftar Kasus Serupa pada Anak. [28 Agustus 2024]. Dari: https://www.kompas.id/baca/metro/2024/08/28/siswi-smp-bunuh-diri-di-rel-kereta-api-tambah-daftar-kasus-bunuh-diri-pada-anak.
Gloriabarus. (2022). Hasil Survei I-NAMHS: Satu dari Tiga Remaja Indonesia Memiliki MAsalah Kesehatan Mental. Berita Universitas Gadjah Mada. [24 Oktober 2022]. Dari: https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah-kesehatan-mental/.
Karisma, N., Rofiah, A., Afifah, S. N., & Manik, Y. M. (2023). Kesehatan Mental Remaja dan Tren Bunuh Diri: Peran Masyarakat Mengatasi Kasus Bullying di Indonesia. Edu Cendikia: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 3(03), 560-567.
Kemendikbud. (2016). Panduan Operasional Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Dari: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/wp-content/uploads/2017/03/2-panduan-bk-smp-2016ditjen-gtk-revisi-final.pdf.
Mokodenseho, S., Maku, F. H. M., Pobela, S., & Panu, F. (2023). Menangani Krisis Mental di Kalangan Pelajar: Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Emosional dalam Sistem Pendidikan. Jurnal Pendidikan West Science, 1(06), 335-342.
Muda, Harris. (2024). Siswa SMP di Jaksel Nekat Lompat dari Lantai 3, Psikolog: Jangan Anggap Sepele Kesehatan Mental Remaja. [24 Mei 2024]. Dari: https://www.inilah.com/siswa-smp-di-jaksel-nekat-lompat-dari-lantai-3-psikolog-jangan-anggap-sepele-kesehatan-mental-remaja.
Rompegading, A. B., Irfandi, R., Agustina, C., Ramadhani, D., & Rahmat, M. F. (2023). Faktor Munculnya Gejala Stres pada Mahasiswa secara Global Akibat Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Covid-19. BIOEDUSAINS: Jurnal Pendidikan Biologi dan Sains, 6(1), 280-299.