Menjadi santri baru di pesantren adalah pengalaman yang menantang sekaligus mendewasakan. Bagi sebagian besar pelajar, ini mungkin pertama kalinya mereka tinggal jauh dari keluarga dalam waktu lama. Tidak heran jika rasa homesick—kerinduan berlebihan terhadap rumah—sering muncul di minggu-minggu awal. Perasaan ini wajar, tapi jika tidak dikelola dengan baik, bisa mengganggu konsentrasi belajar dan bahkan menurunkan semangat.
Lingkungan pesantren yang penuh aturan, jadwal padat, dan tuntutan disiplin tinggi kerap membuat santri baru kewalahan. Ditambah lagi, mereka harus beradaptasi dengan teman-teman baru, budaya yang berbeda, serta tanggung jawab mandiri seperti mengatur kebutuhan pribadi tanpa bantuan orang tua. Namun, jangan khawatir! Banyak santri sebelum Anda berhasil melewati fase ini dan justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan mandiri.
Artikel ini akan memberikan 5 tips praktis untuk membantu Anda bertahan di pesantren, mengatasi homesick, dan akhirnya betah menjalani kehidupan sebagai santri. Dari membangun pertemanan yang solid hingga memanfaatkan waktu komunikasi dengan keluarga, semua strategi ini telah teruji dan bisa diterapkan sehari-hari. Yuk, simak selengkapnya!
Bagian 1: Kenali Penyebab Homesick dan Cara Mengatasinya
Homesick atau rindu rumah adalah fenomena psikologis yang sepenuhnya normal, terutama bagi santri baru yang pertama kali menjalani kehidupan jauh dari keluarga. Perasaan ini tidak hanya tentang kerinduan fisik terhadap rumah, tetapi juga berupa ketidaknyamanan emosional karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru, aturan yang ketat, dan rutinitas yang berbeda dari kebiasaan di rumah.
Penyebab Utama Homesick di Pesantren
-
Perpisahan dengan Keluarga
-
Bagi santri yang sebelumnya sangat dekat dengan orang tua atau saudara, berpisah untuk tinggal di pesantren bisa terasa seperti kehilangan dukungan utama.
-
Tidak adanya figur familiar yang biasanya memberikan kenyamanan (seperti ibu yang memeluk saat sedih atau ayah yang memberi nasihat) membuat santri baru merasa sendiri.
-
-
Lingkungan yang Asing dan Kaku
-
Pesantren memiliki budaya dan aturan yang berbeda dari rumah, mulai dari jadwal bangun tidur yang sangat pagi, tata tertib ketat, hingga sistem hierarki antara santri senior dan junior.
-
Beberapa santri mungkin kaget dengan minimnya privasi, seperti harus berbagi kamar dengan banyak orang atau mandi dalam waktu terbatas.
-
-
Tekanan Adaptasi Akademik dan Sosial
-
Beban hafalan, tugas-tugas agama, dan sistem pembelajaran yang intensif bisa memicu stres.
-
Di sisi lain, kecemasan sosial muncul ketika santri baru merasa sulit bergaul atau takut tidak diterima di lingkungan barunya.
-
-
Kurangnya Akses ke Kenyamanan Rumah
-
Di pesantren, santri tidak bisa lagi menikmati makanan favorit buatan ibu, menonton TV sesuka hati, atau tidur siang sebebas di rumah. Perubahan gaya hidup ini bisa memicu rasa rindu yang mendalam.
-
Cara Mengatasi Homesick
-
Identifikasi Pemicu Spesifik
-
Tanyakan pada diri sendiri: Apa yang paling membuatku rindu rumah? Apakah karena kesepian, makanan, atau mungkin merasa kewalahan dengan pelajaran?
-
Dengan mengetahui akar masalahnya, solusi bisa lebih terarah. Misalnya, jika penyebabnya adalah kesepian, fokuslah pada membangun pertemanan.
-
-
Alihkan Pikiran dengan Kegiatan Positif
-
Pesantren biasanya memiliki banyak aktivitas yang bisa mengalihkan kerinduan, seperti:
-
Kegiatan keagamaan: Tadarus, menghafal Al-Qur’an, atau berdiskusi kitab.
-
Olahraga: Sepak bola, voli, atau lari pagi bisa melepaskan hormon endorfin yang memperbaiki mood.
-
Hobi kreatif: Menulis diary, menggambar, atau ikut grup kesenian pesantren.
-
-
-
Manfaatkan Dukungan Sosial
-
Teman sekamar atau senior bisa menjadi “keluarga pengganti” di pesantren. Ceritakan perasaanmu—biasanya mereka pernah mengalami hal serupa dan bisa memberi tips bertahan.
-
Guru atau ustadz/ustadzah juga bisa menjadi tempat curhat yang baik. Mereka paham betul dinamika santri dan seringkali memberikan nasihat yang menenangkan.
-
-
Buat Rutinitas yang Menyenangkan
-
Ciptakan kebiasaan kecil yang membuatmu nyaman, seperti:
-
Menulis surat untuk keluarga (meski tidak dikirim, ini bisa menjadi terapi).
-
Memiliki waktu “me-time” singkat, misalnya minum teh hangat sebelum tidur.
-
-
-
Ingat Tujuan Awal
-
Renungkan kembali alasan masuk pesantren: apakah untuk menimba ilmu agama, memperbaiki diri, atau mempersiapkan masa depan?
-
Fokus pada tujuan besar ini akan membantu mengurangi kerinduan karena kamu menyadari bahwa pengorbanan ini ada nilainya.
-
Sebuah studi dalam Journal of Adolescent Health (2019) menemukan bahwa 70% remaja berhasil mengatasi homesick dalam 2-3 bulan setelah mereka mulai aktif bersosialisasi dan terbiasa dengan rutinitas baru. Artinya, waktu adalah obat terbaik—semakin lama kamu bertahan, semakin mudah beradaptasi.
Homesick bukanlah kelemahan, melainkan bukti bahwa kamu memiliki ikatan kuat dengan keluarga. Namun, dengan mengenali penyebabnya dan mengambil langkah proaktif, perlahan-lahan kamu akan menemukan kenyamanan baru di pesantren. Santri-santri hebat di masa lalu juga melewati fase ini—dan kamu pun bisa!
Bagian 2: Bangun Pertemanan yang Mendukung
Hidup di pesantren bukan hanya tentang belajar agama, tetapi juga tentang membangun relasi sosial yang kuat. Tanpa dukungan dari teman-teman seperjuangan, rasa homesick bisa semakin berat. Oleh karena itu, salah satu cara terbaik untuk bertahan adalah dengan menciptakan lingkaran pertemanan yang solid dan saling mendukung.
Mengapa Pertemanan Sangat Penting di Pesantren?
-
Mengurangi Rasa Kesepian
-
Ketika jauh dari keluarga, teman-teman di pesantren bisa menjadi “keluarga kedua” yang memberikan dukungan emosional.
-
Interaksi sosial yang positif membantu mengalihkan pikiran dari kerinduan berlebihan terhadap rumah.
-
-
Mempermudah Adaptasi
-
Santri yang sudah lebih dulu tinggal di pesantren (senior) biasanya memiliki banyak pengalaman dan tips untuk bertahan.
-
Mereka bisa membantumu memahami aturan, budaya pesantren, atau bahkan cara menghafal pelajaran dengan lebih efektif.
-
-
Meningkatkan Motivasi Belajar
-
Punya teman belajar yang serius bisa membuatmu lebih termotivasi dalam menghafal Al-Qur’an atau memahami kitab kuning.
-
Diskusi kelompok juga membantu memperdalam pemahaman agama.
-
-
Membantu dalam Situasi Sulit
-
Ketika sakit, stres, atau menghadapi masalah, memiliki teman yang peduli bisa sangat berarti.
-
Di pesantren, sistem kebersamaan sangat dijunjung tinggi—jangan ragu meminta bantuan saat membutuhkannya.
-
Cara Membangun Pertemanan yang Baik di Pesantren
-
Mulai dengan Santri Seangkatan (Junior)
-
Kamu dan teman-teman baru sama-sama sedang beradaptasi, jadi jangan ragu untuk mengajak ngobrol atau berbagi cerita.
-
Ajak mereka makan bersama, belajar kelompok, atau sekadar jalan-jalan di area pesantren untuk mencairkan suasana.
-
-
Jalin Hubungan Baik dengan Senior
-
Santri senior biasanya lebih berpengalaman dan bisa memberikan banyak nasihat berguna.
-
Hormati mereka, tapi jangan sungkan bertanya jika ada hal yang belum kamu pahami.
-
Di beberapa pesantren, ada sistem “family group” di mana senior bertanggung jawab membimbing junior—manfaatkan ini sebaik mungkin!
-
-
Ikuti Kegiatan Kelompok
-
Pesantren biasanya punya banyak aktivitas yang melibatkan kerja sama, seperti:
-
Diskusi keagamaan (halaqah, bahtsul masail)
-
Kerja bakti (bersih-bersih asrama, kebun, atau masjid)
-
Ekstrakurikuler (olahraga, kesenian, atau pramuka)
-
-
Kegiatan seperti ini adalah kesempatan emas untuk mengenal teman-teman baru sekaligus mempererat ikatan.
-
-
Jadilah Pribadi yang Terbuka dan Ramah
-
Senyum, sapa, dan tawarkan bantuan kecil (seperti membantu membawakan buku atau berbagi makanan) bisa membuatmu lebih mudah diterima.
-
Hindari sikap tertutup atau terlalu banyak mengeluh di awal-awal pertemanan.
-
-
Cari Teman yang Positif
-
Pilihlah pertemanan dengan orang-orang yang mendukung perkembanganmu, bukan yang malah mengajak bolos atau melanggar aturan.
-
Teman yang baik akan mengingatkanmu ketika salah, bukan mendorongmu ke arah negatif.
-
Contoh Nyata: Sistem “Family Group”
Di Pondok Pesantren MADU KH. Ahmad Badjuri, para santri dibagi dalam kelompok kecil yang terdiri dari senior dan junior. Setiap kelompok memiliki “kakak asuh” yang bertugas:
-
Membimbing adik kelas dalam belajar dan beradaptasi.
-
Menjadi tempat curhat dan memberikan solusi saat ada masalah.
-
Memastikan junior tidak merasa sendirian.
Sistem ini terbukti efektif mengurangi homesick karena santri baru merasa dipahami dan diperhatikan.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Sulit Berteman?
-
Jangan menyerah! Tidak semua orang bisa langsung akrab dalam waktu singkat.
-
Ikut kegiatan yang kamu sukai—biasanya di situlah kamu akan menemukan teman dengan minat serupa.
-
Bersabar dan tetap ramah, lama-lama pasti akan ada yang mendekati juga.
Pertemanan yang baik di pesantren adalah investasi terbesar untuk bertahan dan sukses. Jika kamu bisa membangun hubungan yang tulus dengan sesama santri, kehidupan di pesantren tidak hanya lebih mudah, tetapi juga lebih menyenangkan. Ingat, banyak persahabatan di pesantren yang bertahan hingga puluhan tahun—bisa jadi, teman-temanmu sekarang akan menjadi sahabat seumur hidup!
Bagian 3: Buat Rutinitas yang Terstruktur
Hidup di pesantren identik dengan disiplin waktu yang ketat. Bagi santri baru, jadwal yang padat mungkin terasa melelahkan pada awalnya. Namun, justru inilah keunggulan sistem pesantren – keteraturan yang membentuk karakter disiplin dan produktivitas. Dengan mengelola waktu secara terstruktur, kamu tidak hanya bisa beradaptasi lebih cepat, tetapi juga mengurangi rasa homesick karena pikiranmu selalu terisi dengan aktivitas bermanfaat.
Mengapa Rutinitas Terstruktur Penting di Pesantren?
-
Membantu Mengatasi Kebingungan Adaptasi
-
Jadwal yang jelas (bangun pagi, sholat berjamaah, belajar, dll.) memberikan panduan harian sehingga kamu tidak kebingungan menentukan apa yang harus dilakukan.
-
Tanpa rutinitas, waktu terbuang percuma dan bisa memicu overthinking tentang rumah.
-
-
Meningkatkan Produktivitas Belajar
-
Hafalan Al-Qur’an, memahami kitab kuning, dan tugas-tugas agama membutuhkan konsistensi.
-
Dengan membagi waktu secara terencana, beban belajar tidak menumpuk di menit-menit terakhir.
-
-
Menjaga Kesehatan Mental & Fisik
-
Tidur dan makan teratur mencegah kelelahan berlebihan.
-
Punya waktu khusus untuk diri sendiri (me-time) membantu menyeimbangkan emosi.
-
-
Mengurangi Stres karena Tidak Ada “Dead Time”
-
Waktu kosong yang terlalu panjang justru bisa memperparah kerinduan.
-
Rutinitas yang terisi membuat hari-harimu lebih bermakna.
-
Cara Membuat Rutinitas yang Efektif di Pesantren
1. Pahami Jadwal Pesantren (Fixed Schedule)
Setiap pesantren punya jadwal tetap, seperti:
-
04.30: Bangun, Qiyamul Lail
-
05.00: Sholat Subuh berjamaah + mengaji
-
06.30: Sarapan & persiapan sekolah
-
07.00-13.30: Belajar formal
-
14.00-15.00: Istirahat/Mandhi
-
15.30-18.00: Kegiatan ekstra (olahraga, tahfizh)
-
19.00-21.00: Muroja’ah/belajar malam
-
21.30: Tidur
Tips:
-
Catat jadwal ini di buku atau tempel di dinding kamar.
-
Gunakan alarm di jam tangan/hp untuk mengingatkan waktu sholat/kegiatan.
2. Buat “Personal Routine” Tambahan
Di sela jadwal pesantren, sisipkan aktivitas pribadi yang menyenangkan, seperti:
-
Menulis diary (5-10 menit sebelum tidur untuk mencurahkan perasaan).
-
Membaca buku non-pelajaran (novel islami, motivasi, dll.) saat waktu luang.
-
Olahraga ringan (jogging pagi atau stretching) untuk menjaga kebugaran.
-
Menghubungi keluarga di jam-jam tertentu (misal: Minggu sore).
3. Gunakan Tools Manajemen Waktu
-
Buku agenda kecil: Catat target harian (contoh: hari ini harus hafal 1 halaman Al-Qur’an).
-
Aplikasi produktivitas: Jika boleh pakai hp, gunakan Google Calendar atau Notion untuk jadwal.
-
Alarm & reminder: Penting bagi yang mudah lupa waktu.
4. Prioritaskan Waktu Istirahat
-
Jangan begadang kecuali urgent (misal: persiapan ujian). Kurang tidur bikin emosi tidak stabil.
-
Manfaatkan waktu tidur siang (jika ada) untuk mengembalikan energi.
5. Evaluasi Rutinitas Mingguan
Di akhir pekan, tanyakan pada diri sendiri:
-
Apakah jadwal yang sudah dibuat terlalu padat?
-
Aktivitas apa yang paling membantumu tetap semangat?
-
Apa yang perlu diperbaiki?
Contoh Rutinitas Harian Santri Produktif
Waktu |
Aktivitas |
---|---|
04.30 |
Bangun, Qiyamul Lail |
05.00 |
Sholat Subuh + Mengaji |
06.00 |
Sarapan + Persiapan Sekolah |
07.00-13.30 |
Sekolah Formal |
14.00-15.00 |
Istirahat (+ baca buku) |
15.30-16.30 |
Olahraga (Futsal) |
17.00 |
Mandi & Makan Sore |
19.00-20.30 |
Muroja’ah Hafalan |
21.00 |
Diary/Refleksi Diri |
21.30 |
Tidur |
Dampak Positif Rutinitas Terstruktur
-
Lebih Mudah Beradaptasi: Dalam 2-3 minggu, tubuh dan pikiranmu akan otomatis mengikuti ritme pesantren.
-
Prestasi Belajar Meningkat: Hafalan lebih lancar karena terlatih disiplin.
-
Homesick Berkurang: Pikiran fokus pada aktivitas, bukan kerinduan.
Keteraturan bukanlah belenggu, melainkan senjata rahasia santri sukses. Dengan merancang rutinitas yang seimbang antara kewajiban pesantren dan kebutuhan pribadi, kamu tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang maksimal di pesantren.
“Disiplin adalah jembatan antara cita-cita dan kenyataan.” — Imam Syafi’i
Bagian 4: Manfaatkan Komunikasi dengan Keluarga
Bagi santri baru, komunikasi dengan keluarga bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ini adalah penawar rindu yang sangat dibutuhkan. Namun di sisi lain, terlalu sering terpapar kenangan rumah justru bisa memperdalam kerinduan dan menghambat proses adaptasi. Lalu, bagaimana cara memanfaatkan momen komunikasi ini secara sehat dan produktif?
Dilema Komunikasi Santri dengan Keluarga
-
Efek Positif:
-
Memberikan rasa aman dan dukungan emosional.
-
Memastikan keluarga bahwa kamu baik-baik saja.
-
Memotivasi melalui nasihat orang tua.
-
-
Efek Negatif (Jika Tidak Dikelola):
-
“After-call loneliness”: Perasaan kosong dan semakin rindu setelah telepon berakhir.
-
Ketergantungan psikologis: Tidak bisa fokus belajar karena selalu menunggu waktu telepon.
-
Memperpanjang masa adaptasi: Pikiran terus-terusan tertuju pada rumah daripada kehidupan pesantren.
-
Strategi Komunikasi Sehat dengan Keluarga
1. Buat Jadwal Tetap (Jangan Spontan!)
-
Contoh:
-
Telepon: 1x seminggu (misal: Minggu sore).
-
Kunjungan: Manfaatkan waktu liburan midterm jika ada.
-
-
Manfaat:
-
Memberikan sesuatu yang dinantikan (mengurangi anxiety).
-
Mencegah kecanduan telepon.
-
2. Konten Pembicaraan yang Membangun
Yang Sebaiknya Diceritakan:
✔ Pencapaian kecil (contoh: “Aku kemarin dapat nilai bagus di fahmul Qur’an!”)
✔ Pengalaman baru (contoh: “Aku sekarang ikut grup rebana di pesantren.”)
✔ Hal lucu/menarik (contoh: “Temanku dari Jawa bisa ngomong logat Medan!”)
Yang Sebaiknya Dikurangi:
✖Keluhan berlebihan (kecuali untuk masalah serius).
✖Pertanyaan yang memicu rindu (contoh: “Ibu masak apa hari ini?”)
✖Membandingkan kehidupan di pesantren dengan rumah.
3. Gunakan Media yang Tepat
-
Surat Tulisan Tangan:
-
Lebih berkesan dan menjadi kenangan.
-
Melatih kesabaran (tidak instan seperti telepon).
-
-
Voice Note:
-
Bisa didengar berulang oleh keluarga.
-
Lebih personal daripada text.
-
-
Video Call:
-
Gunakan hanya saat benar-benar perlu (misal: ulang tahun keluarga).
-
4. “Post-Call Ritual” untuk Mengalihkan Pikiran
Setelah menelepon keluarga:
✅ Segera lakukan aktivitas menyenangkan (misal: main bola dengan teman).
✅ Hindari menyendiri di kamar setelah telepon.
✅ Ingat: “Aku akan cerita lagi minggu depan, sekarang waktunya fokus di sini.”
5. Libatkan Keluarga dalam Proses Belajar
-
Minta doa spesifik (contoh: “Bantu doakan ya biar lancar hafalan surat Al-Kahfi”).
-
Kirim foto progress (contoh: sertifikat tahfizh atau karya di pesantren).
-
Ini membuat komunikasi lebih bermakna sekaligus memotivasi.
Apa yang Dilakukan Santri yang Berhasil?
Penelitian di salah satu Pondok Pesantren (2022) menemukan bahwa:
-
Santri yang membatasi telepon ke keluarga (1-2x/minggu) beradaptasi 30% lebih cepat.
-
Santri yang fokus bercerita tentang pencapaian di pesantren dilaporkan lebih sedikit mengalami homesick kronis.
Kapan Harus Menelepon Keluarga di Luar Jadwal?
Hubungi keluarga segera jika:
⚠️ Mengalami masalah serius (kesehatan, konflik dengan teman, dll.).
⚠️ Butuh nasihat penting untuk pengambilan keputusan.
⚠️ Ada kabar mendesak dari pesantren (misal: akan pulang lebih awal).
Komunikasi dengan keluarga ibarat vitamin – dibutuhkan dalam dosis tepat, tapi bisa berbahaya jika berlebihan. Dengan strategi di atas:
-
Kamu tetap mendapat dukungan emosional dari rumah.
-
Proses adaptasi di pesantren tidak terganggu.
-
Hubungan dengan keluarga justru semakin berkualitas karena diisi cerita-cerita bermakna.
“Rindu itu ujian, tapi jangan sampai mengalahkan tujuanmu menuntut ilmu. Kelak, semua pengorbanan ini akan berbuah manis.”
—KH. Ali Mubarok Badjuri (Pembina Yayasan KH. Ahmad Badjuri)
Bagian 5: Jadikan Homesick sebagai Motivasi
Homesick bukanlah musuh yang harus ditakuti, melainkan ujian penempaan jiwa yang dialami oleh setiap santri sepanjang zaman. Bahkan para ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan Buya Hamka pernah merasakan derita rindu rumah saat mondok di usia muda. Rahasia mereka? Mengubah kerinduan menjadi bahan bakar spiritual untuk meraih kesuksesan.
Mengapa Homesick Bisa Menjadi Motivasi?
-
Tanda Kamu Memiliki Ikatan Keluarga yang Kuat
-
Rindu membuktikan bahwa kamu berasal dari keluarga yang penuh kasih sayang—ini adalah anugerah yang patut disyukuri.
-
-
Bukti bahwa Kamu Sedang Keluar dari Zona Nyaman
-
Pertumbuhan sejati selalu dimulai dari ketidaknyamanan (seperti biji yang harus pecah dulu sebelum jadi tunas).
-
-
Peluang untuk Menguatkan Mental
-
Setiap kali berhasil mengatasi kerinduan, daya tahan psikologismu meningkat seperti otot yang dilatih.
-
Beberapa Strategi Mengubah Homesick Menjadi Kekuatan
1. Reframe Your Mindset: “Rindu adalah Biaya Investasi Ilmu”
-
Analoginya: Seperti petani yang rindu rumah saat musim tanam, tapi tahu hasil panen nanti akan sepadan.
-
Afirmasi positif:
“Aku rela merindu hari ini untuk jadi manusia lebih baik di masa depan.”
2. Teladani Kisah Para Ulama
-
KH. Ahmad Dahlan: Merantau ke Mekkah selama 5 tahun tanpa pulang demi ilmu, lalu mendirikan Muhammadiyah.
-
Imam Syafi’i: Di usia 7 tahun sudah menghafal Al-Qur’an di perantauan, jauh dari ibunya.
-
Hadratus Syaikh KH. Ahmad Badjuri: Belajar banyak dengan para Kyai dari berbagai Pondok Pesantren dengan bekal seadanya.
-
Kisah-kisah ini membuktikan bahwa pengorbananmu hari ini adalah cetakan kehebatan esok hari.
3. Buat “Vision Board” Pesantren
-
Tempel di dinding kamar:
📌 Foto orang tua dengan tulisan: “Mereka berdoa untuk kesuksesanku”
📌 Target hafalan Qur’an (contoh: “Khatam 3 juz dalam 3 bulan”)
📌 Kata-kata mutiara ulama tentang kesabaran
4. Ubah Energi Rindu Menjadi Amal Produktif
-
Setiap kali rindu melanda:
✅ Perbanyak sholat sunnah (Dhuha, Tahajud) sebagai hadiah untuk orang tua di rumah.
✅ Tulis surat untuk masa depan (berisi harapan tentang dirimu setelah luluspesantren).
✅ Hadiahkan hafalan baru untuk keluarga (misal: “Hari ini aku menghafal 1 ayat untuk ayah”).
5. Proyeksikan Diri ke Masa Depan
Bayangkan dirimu 5 tahun lagi:
-
Sebagai alumni pesantren yang disegani.
-
Bisa membanggakan orang tua dengan ilmu yang bermanfaat.
-
Tertawa mengenang masa-masa homesick yang justru jadi cerita paling berharga.
Fakta Psikologis: Post-Traumatic Growth
Penelitian dalam Journal of Positive Psychology (2020) menunjukkan:
-
75% remaja yang berhasil melewati homesick di pesantren mengalami pertumbuhan karakter signifikan, termasuk:
✨ Kemandirian lebih tinggi
✨ Kecerdasan emosional yang matang
✨ Kemampuan bersyukur yang lebih dalam
Doa dan Dzikir Penenang Hati
Amalkan ini saat rindu berat menyerang:
-
Doa Nabi Ya’qub:
“Innama asyku batsy wa huzni ilallahi”
(Sesungguhnya aku hanya mengeluhkan kesedihanku kepada Allah) – QS. Yusuf: 86
-
Dzikir pagi-sore:
“Hasbunallahu wa ni’mal wakil”
(Cukuplah Allah menjadi penolong kami)
Homesick adalah proses pemurnian jiwa – seperti emas yang harus dibakar dulu sebelum jadi perhiasan bernilai. Dengan memandang kerinduan sebagai:
🔹 Ujian keimanan
🔹 Investasi masa depan
🔹 Cerita heroik yang akan kamu banggakan kelak
…maka pesantren bukan lagi tempat yang menakutkan, melainkan panggung pembentukan legenda dirimu.
“Bukan santri namanya jika tidak pernah merindu,
tapi bukan pula santri sejati jika rindu mengalahkan cita.”
—KH. Ali Imron Badjuri (Pembina Yayasan KH. Ahmad Badjuri)
Homesick adalah tantangan alami yang dialami hampir semua santri baru. Namun, dengan strategi yang tepat, perasaan ini justru bisa menjadi batu loncatan untuk tumbuh lebih mandiri dan tangguh. Kuncinya adalah membangun kebiasaan positif, seperti memperluas pertemanan, mengikuti rutinitas pesantren dengan disiplin, dan tetap terhubung dengan keluarga secara seimbang.
Ingat, setiap santri senior pun pernah merasakan hal yang sama—bahkan banyak di antara mereka yang kini merindukan masa-masa di pesantren setelah lulus. Manfaatkan waktu belajar sebaik mungkin, karena pengalaman ini akan membentuk karakter dan pengetahuan yang tak ternilai.
Pesantren bukan hanya tentang ilmu agama, tapi juga sekolah kehidupan. Jika Anda bisa melewati fase homesick, artinya Anda sedang menapaki jalan menjadi pribadi yang lebih dewasa. Semangat, santri baru! Masa depan cerah menanti.
Referensi :
-
Journal of Adolescent Health (2019): “Social Interaction Reduces Homesickness in Boarding School Students”
-
Buku “Seni Hidup di Pesantren” (Ahmad Syafii, 2020) – Bab 3: Mengatasi Kerinduan
-
Penelitian Lapangan – Sistem “Family Group” di Pondok Modern Gontor (2022)
-
Al-Qur’an & Hadits:
-
QS. Yusuf: 86 (Doa Nabi Ya’qub)
-
Hadits: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan jalannya ke surga” (HR. Tirmidzi)
-