Pendahuluan
Tauhid merupakan inti ajaran Islam yang mendasari seluruh aspek kehidupan seorang Muslim. Tauhid berarti mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan, keyakinan, dan pengakuan terhadap kekuasaan-Nya. Konsep ini tidak hanya menegaskan hubungan vertikal manusia dengan Allah tetapi juga membentuk sikap manusia dalam menjalani kehidupan sosial. Dalam konteks Indonesia, dengan keanekaragaman agama dan budaya yang luar biasa, tantangan besar muncul: bagaimana menjaga kemurnian tauhid sambil tetap menghormati pluralisme agama?
Pluralisme, dalam pengertian Islam, bukan berarti menyamakan semua agama, tetapi lebih pada pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain dan menghormati hak mereka untuk berkeyakinan. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengajarkan bahwa keberagaman adalah bagian dari sunnatullah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu; maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Ma’idah: 48).
Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana konsep tauhid dapat sejalan dengan pluralisme agama berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, Hadis Nabi SAW, serta pandangan ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang menekankan moderasi dalam beragama.
Tauhid sebagai Inti Ajaran Islam
Tauhid adalah fondasi seluruh akidah Islam, yang terbagi dalam tiga aspek utama:
-
Tauhid Rububiyah: Keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Dalam QS. Al-A’raf: 54, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
-
Tauhid Uluhiyah: Mengesakan Allah dalam setiap bentuk ibadah. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Bayyinah: 5:
“Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama…”
-
Tauhid Asma wa Sifat: Meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-A’raf: 180:
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu…”
Tauhid tidak hanya membangun kesadaran spiritual, tetapi juga membentuk akhlak yang baik. Tauhid yang benar melahirkan rasa tawakal, kesyukuran, dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah. Prinsip ini relevan dalam kehidupan sosial, di mana keberagaman agama dan budaya menuntut setiap individu untuk bersikap adil dan menghormati hak-hak orang lain.
Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam
Pluralisme agama dalam Islam diakui sebagai realitas yang tak terhindarkan. Allah menciptakan manusia dengan beragam suku, bangsa, dan agama sebagai ujian dalam kehidupan dunia. QS. Al-Hujurat: 13 menyatakan:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”
Ayat ini menekankan pentingnya saling mengenal dan menghargai dalam keragaman, bukan untuk saling menyingkirkan. Nabi Muhammad SAW juga menunjukkan sikap toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain. Salah satu contoh nyata adalah perjanjian dalam Piagam Madinah, yang menjamin hak hidup dan beribadah bagi kaum Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Madinah.
Dalam Hadis Riwayat Bukhari, Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa menyakiti seorang kafir dzimmi (non-Muslim yang dilindungi oleh negara Islam), maka aku akan menjadi lawannya pada hari kiamat.”
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan perlindungan terhadap hak-hak non-Muslim yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam. Bahkan dalam peperangan, Nabi melarang membunuh orang tua, perempuan, anak-anak, dan para pemuka agama yang tidak ikut berperang.
Pandangan Ulama NU tentang Tauhid dan Pluralisme
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran besar dalam mempromosikan konsep Islam yang ramah dan toleran. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah, menekankan pentingnya menjaga kemurnian tauhid dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Beliau menegaskan bahwa umat Islam harus hidup harmonis dengan pemeluk agama lain tanpa mengorbankan prinsip-prinsip akidah.
KH. Wahid Hasyim juga menyuarakan pentingnya pendidikan Islam yang inklusif. Sementara itu, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal luas sebagai tokoh pluralisme yang selalu menekankan bahwa perbedaan adalah rahmat. Gus Dur berpendapat bahwa pluralisme adalah wujud dari pengamalan tauhid, di mana seorang Muslim menghormati ciptaan Allah dalam berbagai bentuk, termasuk dalam perbedaan keyakinan.
Salah satu kutipan terkenal Gus Dur adalah:
“Bagi saya, Islam itu berakar pada tauhid. Tauhid melahirkan rasa kemanusiaan. Kemanusiaan yang sejati tidak akan memusuhi perbedaan, tetapi merangkulnya sebagai anugerah Allah.”
Kesimpulan
Tauhid sebagai inti ajaran Islam memberikan landasan spiritual yang kokoh bagi setiap Muslim untuk menjalankan kehidupannya. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, pemahaman tauhid tidak hanya memperkuat hubungan dengan Allah, tetapi juga mendorong terciptanya harmoni sosial. Pluralisme agama bukanlah ancaman bagi tauhid, melainkan bagian dari sunnatullah yang harus disikapi dengan bijak.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis menunjukkan bahwa Islam mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap agama lain. Ulama NU, dengan pendekatan Islam Nusantara, telah menunjukkan bagaimana konsep tauhid dapat berjalan seiring dengan pluralisme, membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.
Semoga kita semua dapat mempraktikkan nilai-nilai tauhid yang tidak hanya memperkuat keimanan tetapi juga menjadi rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana tujuan utama ajaran Islam: rahmatan lil ‘alamin.