Penulis : Himmatus Sholikhah, S.Pd
Di era modern yang penuh dengan kesibukan dan interaksi digital, empati menjadi keterampilan sosial yang semakin penting namun sering terabaikan. Empati bukan hanya tentang memahami perasaan orang lain, tetapi juga merespons dengan kepedulian yang tulus. Salah satu cara yang terbukti efektif untuk mengembangkan empati, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda, adalah melalui membaca buku fiksi.
Mengapa Fiksi?
Fiksi, terutama yang ditulis dengan karakter dan alur yang mendalam, memungkinkan pembaca “hidup” dalam perspektif orang lain. Melalui tokoh-tokoh fiksi, pembaca mengalami dilema moral, pergulatan batin, dan peristiwa emosional yang memperluas wawasan batin mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Keith Oatley dan rekan-rekannya di University of Toronto, membaca fiksi literer dapat meningkatkan theory of mind, yaitu kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain (Oatley, 2016).
Berbeda dengan bacaan nonfiksi yang lebih informatif, fiksi membawa pembaca masuk ke dunia emosional karakter, menciptakan pengalaman yang menyerupai kehidupan nyata. Dalam satu studi yang diterbitkan di jurnal Science, disebutkan bahwa membaca fiksi literer meningkatkan kemampuan empatik pembaca secara signifikan dibandingkan dengan membaca nonfiksi atau genre populer lainnya (Kidd & Castano, 2013).
Fiksi dan Pembentukan Karakter
Membaca fiksi tidak hanya berdampak pada kecerdasan emosional, tetapi juga pada pembentukan karakter. Dalam konteks pendidikan, membaca fiksi bisa menjadi alat pembelajaran afektif yang kuat. Ketika siswa membaca kisah-kisah tentang perjuangan, ketidakadilan, atau keberanian, mereka tidak hanya memahami nilai-nilai tersebut, tetapi juga merasakannya. Misalnya, novel seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dapat membawa pembaca pada pengalaman sosial yang penuh nuansa, sehingga membantu membangun rasa peduli terhadap ketimpangan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Relevansi dengan Pelajar SMP
Bagi pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP), masa remaja awal adalah fase penting dalam perkembangan sosial dan emosional. Pada tahap ini, mereka mulai membentuk identitas, memahami perbedaan antarindividu, dan belajar menempatkan diri di lingkungan sosial yang lebih luas. Membaca fiksi menjadi sarana yang sangat efektif untuk membantu proses ini.
Beberapa alasan mengapa membaca fiksi relevan bagi pelajar SMP antara lain:
- Melatih kepekaan sosial: Tokoh-tokoh fiksi menghadirkan berbagai latar belakang sosial, budaya, dan emosi, yang memperkaya pemahaman siswa terhadap keragaman manusia.
- Membantu mengelola emosi: Dengan mengikuti cerita karakter yang mengalami kesulitan, siswa bisa belajar mengenali dan mengelola emosi mereka sendiri.
- Mendorong refleksi moral: Konflik dalam cerita sering kali menantang siswa untuk mempertimbangkan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian.
- Menumbuhkan toleransi: Cerita dari berbagai perspektif membantu siswa belajar menghargai perbedaan dan mengurangi sikap menghakimi.
Dalam pembelajaran di SMP, guru memasukkan kegiatan membaca fiksi sebagai bagian dari penguatan profil pelajar Pancasila, khususnya dalam dimensi “berkebhinekaan global” dan “berakhlak mulia”. Diskusi kelas setelah membaca cerita dapat menjadi wadah refleksi dan pembelajaran sosial yang bermakna. Di tengah meningkatnya polarisasi sosial dan budaya, kemampuan untuk memahami dan menghargai perspektif orang lain menjadi sangat penting. Fiksi dapat menjadi jembatan untuk menumbuhkan toleransi dan pengertian antar kelompok. Melalui cerita, seseorang bisa “menjadi” orang lain—melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda dari dirinya sendiri.
Kesimpulan
Membaca fiksi bukan hanya kegiatan hiburan, tetapi juga sarana pendidikan emosional. Dengan masuk ke dunia karakter-karakter fiksi, pembaca dapat belajar merasakan, memahami, dan berempati terhadap orang lain dalam kehidupan nyata. Bagi pelajar SMP, fiksi menjadi media yang menyenangkan sekaligus mendalam untuk membantu mereka tumbuh sebagai individu yang lebih peduli, toleran, dan matang secara emosional. Di tengah dunia yang semakin individualistis, membaca fiksi bisa menjadi cara sederhana namun kuat untuk melatih empati—nilai yang sangat dibutuhkan dalam membangun masyarakat yang inklusif dan penuh kasih.
Daftar Pustaka
Oatley, K. (2016). Fiction: Simulation of social worlds. Trends in Cognitive Sciences, 20(8), 618–628. https://doi.org/10.1016/j.tics.2016.06.002
Kidd, D. C., & Castano, E. (2013). Reading literary fiction improves theory of mind. Science, 342(6156), 377–380. https://doi.org/10.1126/science.1239918
Mar, R. A., Oatley, K., & Peterson, J. B. (2009). Exploring the link between reading fiction and empathy: Ruling out individual differences and examining outcomes. Communications, 34(4), 407–428. https://doi.org/10.1515/COMM.2009.025
Hakemulder, J. (2000). The Moral Laboratory: Experiments Examining the Effects of Reading Literature on Social Perception and Moral Self-Concept. John Benjamins Publishing.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Profil Pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.