Pondok Pesantren MADU KH Ahmad Badjuri

Pesantren Sebagai Laboratorium Hidup Pembentukan Akhlakul Karimah

Fajar di Pesantren: Membangun Disiplin dari Waktu Subuh

Pukul 3.30 dinihari, ketika kabut pagi masih menyelimuti kompleks pesantren, sebuah transformasi karakter sedang dimulai. Dentang bedug tahajud yang dipukul santri jaga bergema di antara gedung-gedung asrama, membangunkan ratusan santri dari tidur mereka. Suara gemerisik kasur dan langkah kaki yang bergegas ke kamar mandi mulai terdengar dari berbagai penjuru. Inilah ritual pertama yang mengajarkan arti sebenarnya dari disiplin – bangun ketika tubuh masih merindukan bantal, berwudhu dengan air dingin yang membuat nafas terengah, semua demi memenuhi panggilan Ilahi.

Di asrama putra blok timur, terlihat seorang santri senior bernama Ibnu sudah berdiri di depan kamar adik-adik kelasnya. “Ayo bangun! Waktunya tahajud!” serunya sambil mengetuk pintu kamar satu persatu. Tangannya memegang daftar absensi, mencatat siapa saja yang sudah bangun tepat waktu. Sistem mentor seperti ini adalah tulang punggung disiplin pesantren, dimana santri senior bertanggung jawab membimbing yuniornya. “Dulu saya sering dihukum karena telat bangun,” akui Ibnu sambil tersenyum, “Sekarang saya paham, kedisiplinan adalah bentuk cinta pada ilmu.”

Di serambi masjid, lampu minyak dan lilin mulai dinyalakan oleh petugas piket, menerangi wajah-wajah yang masih sembab mengantuk namun penuh tekad. Ustadz Aziz, pengurus bagian tahajud, sudah berdiri di depan mimbar kecil. Matanya yang tajam mengamati setiap santri yang masuk. “Perhatikan adab masuk masjid,” bisiknya pada seorang santri baru yang lupa membaca doa. “Kaki kanan dulu, baca doa, lalu shalat tahiyatul masjid.”

Proses sebelum subuh ini bukan sekadar rutinitas. Di baliknya tersimpan falsafah pendidikan yang dalam. Kyai H. Ali Mas’ud, pengasuh pesantren, menjelaskan: “Kami sengaja mempertahankan tradisi bangun dini hari karena dalam kegelapan itulah karakter sejati terbentuk. Ketika tak ada yang melihat, ketika hanya Allah yang menjadi saksi – disitulah keikhlasan diuji.”

Setelah tahajud berjamaah, para santri berkumpul dalam halaqah-halaqah kecil untuk tadarus Al-Qur’an. Suara lirih bacaan mereka bersaut-sautan dalam kegelapan yang mulai pudar. Di sudut masjid, terlihat sekelompok santri menghafal hadis dengan metode muraja’ah. “Ini waktu mustajab untuk menghafal,” kata Ahmad yang sudah hafal 2 juz sebelum subuh.

Ketika adzan subuh berkumandang, seluruh santri sudah berdiri rapi dalam shaf-shaf yang tertib. Tak ada yang terlambat, tak ada yang menguap. Mereka telah melalui proses panjang sejak tiga jam sebelumnya – sebuah pelatihan kesabaran dan ketahanan mental. “Disiplin waktu adalah cerminan iman,” tulis KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-Alim wal Muta’allim yang menjadi pedoman hidup pesantren.

Matahari mulai menampakkan sinarnya yang keemasan ketika para santri keluar dari masjid. Wajah-wajah mereka sekarang berseri, berbeda dengan wajah mengantuk tadi pagi. Mereka telah melewati ujian pertama hari itu – mengalahkan diri sendiri. Inilah pendidikan karakter sejati yang tak akan pernah didapatkan di bangku sekolah manapun.

Kelas Kitab Kuning: Ruang Dialog antara Teori dan Praktik

Pukul 08.00 pagi, sinar matahari mulai menyusup melalui jendela-jendela kayu kelas Al-Mubarok. Ruangan berukuran 6×8 meter ini segera dipenuhi oleh 25 santri yang duduk bersila membentuk lingkaran sempurna di atas lantai kayu yang sudah aus termakan zaman. Di tengah lingkaran, Ustadz Ja’far duduk dengan gagah memegang kitab Akhlaq Lil Banin yang sudah lusuh. “Hari ini kita masuk bab adab berbicara,” ujarnya sambil membuka halaman kitab kuning yang penuh dengan catatan pinggir berwarna-warni dari generasi santri sebelumnya.

Suasana kelas kitab kuning di pesantren memiliki karakteristik unik yang tak ditemukan di pendidikan formal manapun. Metode bandongan yang diterapkan menciptakan dinamika pembelajaran hidup. Ustadz Ja’far tidak hanya menerjemahkan teks Arab gundul, tetapi juga menyelipkan kisah-kisah nyata dari pengalamannya. “Lihat kalimat ini,” katanya menunjuk satu baris, “Al-kalamu idza zaada ‘an miqdaarihi qalla qadruhu – Perkataan yang berlebihan akan mengurangi nilainya.” Lalu ia bercerita tentang seorang alumni yang kehilangan pekerjaan karena terlalu banyak bicara dalam wawancara.

Di sudut kanan depan, terlihat Santri Taufiq sedang mempraktikkan adab duduk yang benar saat belajar. Kaki kanannya dilipat dengan rapi, punggung tegak, sementara tangan kirinya menopang kitab dengan hormat. “Dulu saya sering bersandar ke tembok,” akunya saat istirahat, “sampai suatu hari Ustadz mengatakan bahwa sikap tubuh mencerminkan sikap hati terhadap ilmu.”

Yang menarik dari sistem pengajaran kitab kuning adalah bagaimana setiap teori langsung dihubungkan dengan praktik harian. Ketika membahas bab tentang kejujuran, misalnya, para santri diminta menceritakan pengalaman mereka selama seminggu terakhir dalam menerapkan nilai tersebut. “Kemarin saya mengembalikan uang lebih yang diberikan penjaga kantin,” sahut Santri Taufiq dengan bangga. Diskusi pun berkembang tentang bagaimana menjaga kejujuran dalam situasi sulit.

Metode sorogan – dimana santri membaca kitab langsung di hadapan guru – menjadi momen paling menegangkan sekaligus paling berharga. Santri harus mempersiapkan bacaan, terjemahan, dan pemahamannya dengan matang. “Tidak ada yang bisa menyontek di sini,” ujar Santri Fino sambil tersenyum, “karena Ustadz bisa langsung tahu kalau kita belum benar-benar paham.”

Di dinding kelas tergantung tulisan besar “Al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasyajari bilaa tsamarin – Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah.” Prinsip inilah yang menjadi roh pembelajaran. Setiap akhir pekan, para santri diminta membuat laporan praktik dari teori yang telah dipelajari. Bukan laporan tertulis, tetapi catatan pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan teman, guru, dan masyarakat sekitar pesantren.

Keunikan lain terlihat dari kitab-kitab yang digunakan. Setiap kitab memiliki catatan-catatan tangan dari generasi ke generasi, membentuk semacam rantai pengetahuan yang tak terputus. “Kitab ini sudah diajarkan sejak kakek buyut Kyai,” kata Ustadz Ja’far sambil menunjukkan catatan tahun 1965 di margin halaman. “Setiap generasi menambahkan pemahaman mereka, menjadikan kitab ini hidup dan terus relevan.”

Ketika bel istirahat berbunyi, diskusi seringkali masih berlanjut di serambi kelas. Para santri berdebat tentang implementasi nilai-nilai kitab kuning di era digital. “Bagaimana menerapkan adab berbicara di media sosial?” tanya seorang santri. Percakapan serius tapi penuh keakraban ini adalah bukti bahwa kitab kuning bukan sekadar teks mati, tetapi panduan hidup yang terus berdialog dengan zaman.

Kehidupan Asrama: Microcosmos Masyarakat Ideal

Blok asrama putra nomor 5 di Pondok Pesantren menjadi miniatur sempurna tentang bagaimana nilai-nilai akhlakul karimah dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Ruangan berukuran 7×10 meter ini menjadi rumah bagi 18 santri dengan beragam latar belakang – dari anak pengusaha kaya sampai yatim piatu penerima beasiswa. “Inilah laboratorium sosial kami yang sesungguhnya,” ujar Santri Malik, ketua kamar yang bertanggung jawab mengkoordinasi kehidupan sehari-hari.

Setiap sudut asrama bercerita tentang nilai-nilai yang ditanamkan. Lemari pakaian bersama yang tertata rapi mencerminkan kedisiplinan kolektif. Dinding yang dipenuhi jadwal hafalan dan target prestasi menunjukkan semangat belajar yang tak pernah padam. Bahkan rak sandal di depan pintu yang selalu tersusun rapi menjadi bukti kesadaran akan hak orang lain yang tertanam dalam diri setiap penghuni.

Pagi hari di asrama dimulai dengan pembagian tugas piket yang bergilir. Ada yang bertugas menyapu lantai, membersihkan kamar mandi, atau mengatur sarung dan peci yang akan digunakan. “Tidak ada sistem pembantu di sini,” jelas Ustadz Yaqin, pembina asrama. “Dengan membersihkan kotoran sendiri, mereka belajar menghargai kebersihan dan kerja orang lain.” Seorang santri bernama Adib mengaku awalnya jijik harus membersihkan kloset, tetapi sekarang memahami itu sebagai bagian dari pendidikan karakter.

Momen paling berharga terjadi setiap malam sebelum tidur. Para santri duduk melingkar dalam forum muhasabah (evaluasi diri) yang dipimpin ketua kamar. “Hari ini saya masih kurang sabar saat mengajari adik kelas membaca Al-Qur’an,” akui Santri Novan dengan jujur. Teman-temannya kemudian memberikan masukan dengan bahasa yang santun, menunjukkan bagaimana kritik pun bisa disampaikan dengan penuh adab. Forum ini menjadi ruang aman untuk saling mengingatkan tanpa rasa permusuhan.

Kehidupan bersama dalam keterbatasan justru mengajarkan nilai-nilai luhur. Ketika seorang santri mendapat kiriman makanan dari rumah, secara otomatis dibagi rata kepada semua penghuni kamar. “Kami punya tradisi ‘oleh-oleh wajib dibagi’,” cerita Santri Sholeh sambil tertawa. Bahkan sepotong kue kecil pun akan dibagi delapan belas agar semua bisa merasakan. Kebiasaan sederhana ini melatih jiwa sosial dan mengikis sifat egois.

Konflik antar santri memang tak terhindarkan, tetapi justru menjadi media belajar berharga. Suatu ketika terjadi perselisihan karena ada santri yang meminjam buku tanpa izin. Alih-alinkata memarahi, ketua kamar mengajak mereka menyelesaikan masalah dengan musyawarah. “Kami belajar bahwa persaudaraan lebih penting dari kepentingan pribadi,” kata Santri Navi yang terlibat konflik tersebut.

Yang unik, sistem senioritas di asrama tidak berubah menjadi kesewenang-wenangan. Santri senior justru bertanggung jawab menjadi kakak asuh bagi yuniornya. Mereka mengajari cara melipat sarung, mengatur waktu belajar, bahkan memberikan konseling informal. “Hubungan kakak-adik ini melanjutkan tradisi guru-murid dalam dunia pesantren,” jelas Kyai Hasan, pengasuh pondok.

Di balik dinding asrama yang sederhana ini, terbentuklah ikatan persaudaraan sejati yang melampaui hubungan darah. Mereka tidur dalam satu ruangan, makan dari satu nampan, saling menjaga rahasia, dan bersama-sama melalui suka duka. “Pondok adalah keluarga kedua kami,” kata Santri Ali yang sudah lima tahun tinggal di asrama. “Di sini kami belajar bahwa masyarakat ideal itu dibangun dari akhlak mulia dalam interaksi sehari-hari, bukan sekadar teori.”

Figur Kyai: Magnet Akhlak yang Menyentuh Hati

Di balik pagar putih Pesantren, terdapat sebuah rumah sederhana yang selalu ramai dikunjungi – kediaman Kyai H. Ali Masykur. Setiap sore, terlihat antrean santri dan warga yang ingin bersilaturahmi atau meminta nasihat. Yang mencolok adalah cara Kyai H. Ali Masykur menyambut setiap tamu dengan kerendahan hati yang sama, entah itu pejabat daerah atau pedagang bakso keliling. “Silakan masuk, meskipun rumah saya sangat sederhana,” sambutnya dengan senyum tulus yang langsung mencairkan suasana.

Keteladanan Kyai H. Ali Masykur bukanlah sesuatu yang dipaksakan, tetapi mengalir alami seperti air dari mata air. Suatu pagi, beberapa santri terkejut melihat beliau sendiri yang menyapu daun kering di halaman pesantren. “Kyai, biar kami saja yang menyapu,” protes seorang santri. Dengan bijak beliau menjawab, “Membersihkan lingkungan adalah ibadah. Dan seorang pemimpin harus memberi contoh, bukan hanya memerintah.” Kejadian sederhana ini menjadi pelajaran berharga yang terus diingat para santri.

Interaksi Kyai dengan santri-santrinya penuh dengan momen edukatif. Ketika melihat seorang santri terburu-buru melangkahi sajadah di masjid, beliau tidak langsung menegur. Esok harinya, dalam pengajian, Kyai bercerita tentang kisah sahabat Nabi yang sangat menghormati tempat ibadah. “Terkadang nasihat tidak perlu langsung,” ujar Ustadz Gory yang telah 20 tahun mendampingi Kyai. “Beliau punya cara unik untuk menyentuh hati tanpa membuat malu.”

Kyai H. Ali Masykur juga mengajarkan kesetaraan melalui tindakan nyata. Pada suatu acara haul, terlihat beliau sendiri yang mengambilkan makanan untuk santri yatim dan duduk makan bersama mereka di lantai. “Lihatlah, Kyai tidak memilih-milih tamu,” bisik seorang warga yang terharu. Sikap ini mengajarkan bahwa dalam Islam, semua manusia setara di hadapan Allah.

Kedalaman spiritual Kyai terlihat dari kebiasaan kecilnya. Para santri sering melihat beliau bangun tengah malam untuk shalat tahajud, atau diam-diam bersedekah kepada keluarga kurang mampu. “Keteladanan yang tidak terlihat itulah yang paling berkesan,” kata Santri Taufiq yang pernah memergoki Kyai menangis saat berdoa sendirian. “Kami belajar bahwa akhlak mulia harus konsisten, baik di hadapan orang banyak maupun saat sendirian.”

Hubungan Kyai dengan masyarakat sekitar juga menjadi contoh hidup. Setiap Jumat pagi, beliau berkeliling kampung untuk menjenguk warga yang sakit. “Kedatangan Kyai selalu membawa ketenangan,” ujar Mbah Samidi, seorang petani yang sering dikunjungi. Bahkan ketika menghadapi warga yang berbeda pendapat, Kyai selalu menunjukkan sikap menghargai. “Perbedaan pendapat tidak boleh merusak persaudaraan,” begitu prinsip yang sering beliau sampaikan.

Di mata santri, Kyai H. Ali Masykur adalah living Quran – Al-Qur’an yang berjalan. Setiap gerak-geriknya mencerminkan nilai-nilai kitab suci. Cara beliau berjalan dengan tenang, berbicara dengan lembut, bahkan tersenyum pun penuh makna. “Kyai tidak perlu banyak bicara tentang akhlak,” kata Santri Fadllan, “karena seluruh hidupnya adalah pelajaran akhlak yang nyata.”

Keteladanan Kyai ini kemudian menular kepada para ustadz dan santri senior, menciptakan mata rantai kebaikan yang tidak terputus. Setiap generasi meneruskan nilai-nilai itu kepada generasi berikutnya, menjaga kemurnian tradisi akhlak pesantren. “Inilah rahasia mengapa pesantren bisa bertahan berabad-abad,” pungkas Kyai H. Ali Masykur suatu ketika. “Karena kami tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi hidup yang menjadi contoh.”

×