Penulis : Muhammad Syauqi Denal Muzny, S.E
Kata tahfiz merupakan bentuk masdar dari haffaza, asal dari kata hafiza-yahfazu yang artinya “menghafal”. Hafiz menurut Quraisy Syihab terambil dari tiga huruf yang mengandung makna memelihara dan mengawasi. Dari makna ini kemudian lahir kata menghafal, karena yang menghafal memelihara dengan baik ingatannya. Juga makna “tidak lengah”, karena sikap ini mengantar kepada keterpeliharaan, dan “menjaga”, karena penjagaan adalah bagian dari pemeliharaan dan pengawasan. Kata hafiz mengandung arti penekanan dan pengulangan pemelihara, serta kesempurnaannya. Ia juga bermakna mengawasi. Allah Swt. memberi tugas kepada malaikat Raqib dan ‘Atid untuk mencatat amal manusia yang baik dan buruk dan kelak Allah akan menyampaikan penilaian-Nya kepada manusia. Sedang kata al-Qur’an merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril as. yang ditilawahkan secara lisan, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir.
Menurut Farid Wadji, tahfiz al-Qur’an dapat didefinisikan sebagai proses menghafal al-Qur’an dalam ingatan sehingga dapat dilafadzkan/ diucapkan di luar kepala secara benar dengan cara-cara tertentu secara terus menerus. Orang yang menghafalnya disebut al-hafiz, dan bentuk pluralnya adalah al-huffaz. Definisi tersebut mengandung dua hal pokok, yaitu : pertama, seorang yang menghafal dan kemudian mampu melafadzkannya dengan benar sesuai hukum tajwid harus ssuai dengan mushaf al-Qur’an. Kedua, seorang penghafal senantiasa menjaga hafalannya secara terus menerus dari lupa, karena hafalan al-Qur’an itu sangat cepat hilangnya. Dengan demikian, orang yang telah hafal sekian juz al-Qur’an dan kemudian tidak menjaganya secara terus menerus, maka tidak disebut sebagai hafidz al-Qur’an, karena tidak menjaganya secara terus menerus. Begitu pula jika ia hafal beberapa juz atau beberapa ayat al-Qur’an, maka tidak termasuk hafidz al-Qur’an.
Bunyamin Yusuf Surur mendeskripsikan orang yang hafal al-Qur’an sebagai orang yang hafal seluruh al-Qur’an dan mampu membacanya secara keseluruhan di luar kepala atau bi al-ghaib sesuai aturan-aturan bacaanbacaan ilmu tajwid yang sudah masyhur.
Banyaknya penggemar menghafal al-Qur’an dan para penghafal alQur’an merupakan bentuk jaminan Allah terhadap pemeliharaan al-Qur’an. Dalam surat al-Qamar ayat 17, 22, 33, dan 44 Allah tentang firman Allah yang berbunyi “wa laqad yassarna al-qur’ana li adzdzikri” (Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk diingat), ditafsirkan oleh al-Qurtubi sebagai “……Kami mudahkan al-Qur’an untuk dihafal, dan Kami akan tolong siapa saja yang menghafalnya, maka apakah ada pelajar yang menghafalnya, dia pasti akan ditolong”. Maka kemudahan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin yang menghafal al-Qur’an merupakan karunia-Nya agar al-Qur’an tetap terjaga kemurnniannya sepanjang zaman.
Terdapat beberapa manfaat dan keutamaan tentang kedudukan para penghafal al-Qur’an. Pertama, menghafal al-Qur’an berarti menjaga otentisitas al-Qur’an yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga orang yang menghafal al-Qur’an dengan hati bersih dan ikhlas mendapatkan kedudukan yang sangat mulia di dunia dan di akhirat, karena mereka merupakan makhluk pilihan Allah. Jaminan kemuliaan ini antara lain bahwa orang yang A-Qur’an akan memberi syafaat baginya, menghafal al-Qur’an merupakan sebaik-baik ibadah, selalu dilindungi malaikat, mendapat rahmat dan ketenangan, mendapat anugerah Allah, dan menjadi hadiah bagi orang tuanya.
Kedua, menghafal al-Qur’an membentuk akhlak mulia baik bagi pribadi sang hafidz maupun menjadi contoh bagi masyarakat luas. Al-Qur’an merupakan “hudan li annas” (petunjuk bagi manusia). Semakin dibaca, dihafal dan dipahami, maka semakin besar petunjuk Allah didapat. Petunjuk Allah berupa agama Islam berisi tentang aqidah, ibadah dan akhlak. Akhlak merupakan inti dari agama yang menjadi misi utama Nabi Muhammad Saw diutus Allah. Akhlak yang baik menjadi ukuran kebaikan seseorang yang dengan akhlak baik itu ia menjadi manusia yang ideal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasyidin yang wa manusia yang ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya, mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nasfunya, berkepribadian, bermasyarakat, dan berbudaya. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki akhlak yang baik maka ia akan menjadi orang yang tidak berguna bahkan bisa membahayakan orang lain. Inilah yang diderita oleh mayoritas manusia saat ini, yakni sebuah penyakit yang disebut “split personality” (kepribadian ganda) dimana antara ucapan dan perbuatannya berbeda.
Strategi Pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an
Menghafal Al-Qur’an urgen untuk dikembangkan di setiap lembaga pendidikan Islam baik sekolah maupun madrasah karena merupakan usaha menjaga orisinalitas al-Qur’an yang mutlak menjadi kewajiban bagi umat Islam, membentuk pribadi mulia dan meningkatkan kecerdasan. Terbentuknya pribadi mulia dan cerdas, yakni pribadi yang taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan menjadi tujuan pendidkan dan karakteristik sebuah lembaga pendidikan Islam yang maju. Suksesnya program tahfidz al-Qur’an di sebuah lembaga pendidikan Islam menjadi jembatan menuju tercapainya keunggulan-keunggulan terhadap disiplin ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu, mensukseskan program tahfidz al-Qur’an bagi lembaga pendidikan adalah hal yang penting.
Berdasarkan faktor-faktor kegagalan sebagaimana disebut di atas, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan bagi lembaga pendidikan Islam yang mengelola program tahfidz al-Qur’an. Pertama, memperbaiki dan menyempurnakan manajemen tahfidz al-Qur’an dengan melakukan strategi sebagai berikut: (1) sekolah/madrasah harus menentukan waktu yang tepat. Waktu harus dimanaj sedemikian rupa tanpa menganggu jam pelajaran yang lain. Pemilihan waktu yang tepat akan menunjang konsentrasi peserta didik dalam menghafal al-Qur’an, menghilangkan kejenuhan dan memperbarui semangat. Waktu yang baik untuk menghafal al-Qur’an adalah di pagi hari sebelum kegiatan yang lain dimulai, misalnya jam 06.00 sampai jam 07.00. Jika sekolah/madrasah tersebut memiliki ma’had, maka waktu yang harus dipilih sebaiknya di malam hari antara Maghrib dan Isya sampai saat salat malam (qiyam al-lail) dan setelah subuh. (2) memilih tempat dan lingkungan yang baik dan suci seperti masjid atau mushalla. Zuhairini mengatakan lingkungan adalah suatu faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting terhadap berhasil tidaknya pendidikan agama. Al-Ghautsani memaparkan bahwa tempat suci sangat berpengaruh dalam menghafal, karena tempat-tempat bergambar, perhiasan, warna-warna mencolok, bising dan gaduh sangat mempengaruhi konsentrasi hafalan. Selain itu, bisa juga disediakan tempat menghafal di laboratorium khusus untuk menghafal alQur’an yang dirancang sedemikian rupa supaya nyaman, sejuk, dan hening. Akan sangat baik pula jika ditunjang dengan fasilitas dan alat-alat seperti MP3, CD al-Qur’an dan papan tulis untuk memudahkan instruktur dan peserta didik dalam proses pembelajaran hafalan al-Qur’an; (3) menentukan materi yang dihafal. Ayat-ayat al-Qur’an yang akan dihafal hendaknya disusun secara berkala. Misalnya ada ayat-ayat yang harus dihafal dan disetorkan setiap hari secara bertahap. Contohnya hafalan lima ayat setiap hari. Ada ayat-ayat mingguan yang merupakan gabungan dari hari pertama sampai akhir pekan. Ada ayat-ayat bulanan, semesteran dan tahunan.
Kedua, mengaktifkan dan memperkuat peran instruktur tahfidz dalam membimbing dan memotivasi siswa penghafal al-Qur’an. Hal ini bisa dilakukan cara-cara sebagai berikut: (1) meningkatkan volume dan intensitas keterlibatan guru tahfidz secara langsung dalam membimbing siswa penghafal yang harus dilakukan secara istiqamah. Keterlibatan langsung seorang guru dalam aktivitas menghafal berpengaruh kuat kepada siswa. Intensitas interaksi antara guru tahfidz dan siswa diperlukan supaya terjalin komunikasi yang era diantara keduanya, sehingga siswa merasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang guru. Besarnya perhatian dan kasih sayang guru akan mendorong motivasi siswa yang lebih tinggi; (2) meningkatkan kemampuan guru dalam membimbing dan memotivasi siswa. Oemar Hamalik mengatakan bahwa cara yang digunakan oleh instruktur dalam memberikan materi pelajaran bimbingan besar sekali pengaruhnya terhadap kualitas dan hasil belajar siswa. Dengan demikian, seorang instruktur tahfidz hendaknya memiliki kemampuan yang baik mengenai cara yang tepat dalam membimbing peserta didiknya serta selalu memberikan motivasi. Motivasi dari sang guru tahfidz yang selalu mendampinginya sangat dibutuhkan oleh siswa. Orang yang menghafal al-Qur’an sangat mudah bosan dan lelah. Oleh karena itu, diperlukan motivasi utamanya dari guru yang membimbingnya. Motivasi bisa dilakukan dengan memberikan semangat yang menggugah, memberikan pujian dan penghargaan, memberikan cerita para hafidz/hafidzah yang sukses setelah melakukan perjuangan, cerita pengalaman pribadi guru dan orangorang saleh, juga sangat baik jika diadakan kompetisi antar peserta didik; (3) melakukan rekrutmen guru tahfidz lebih banyak melalui seleksi yang berstandar. Guru tahfidz yang mengajar harus profesional dalam mengajar dan membimbing dengan baik. Niat yang lurus, sabar dan ikhlas menjadi syarat penting dalam proses membimbing. Lebih baik lagi jika mereka juga memiliki keunggulan penguasaan kandungan makna al-Qur’an dan ‘ulum al-Qur’an.
Ketiga, menyempurnakan mekanisme dan metode yang diterapkan oleh guru tahfidz. Salah satu faktor yang mendukung seseorang lebih mudah dan lebih cepat dalam menghafal al-Qur’an adalah penggunaan metode yang tepat dan bervariasi. Hasil hafalannya pun tidak mudah lupa. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an yang telah dihafal mudah hilang dari ingatan. Untuk itu, menjaga hafalan lebih berat daripada menghafalnya. Rasulullah Saw bersabda : “Peliharalah hafalan al-Qur’an, sebab demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, al-Qur’an itu lebih cepat terlepas daripada unta yang terikat dalam ikatannya”(Muttafaq Alaih). Supaya mudah dan cepat menghafal al-Qur’an, dan al-Qur’an yang dihafalkan tidak mudah lupa perlu dilakukan strategi berikut : (1) guru tahfidz hendaknya menguasai seluruh metode pembelajaran tahfidz al-Qur’an dan menerapkannya secara bergantian.
Penututp
Masing-masing metode memiliki kelemahan dan kelebihan, sehingga penggunaan metode yang bervariasi bisa saling melengkapi dan menghilangkan kebosanan. Selain itu, penggunaan beberapa metode berpeluang memperkuat hafalan. Beberapa metode yang bisa digunakan seperti metode Talaqqi/Musyafahah (tatap muka/face to face), metode Sima’i (memperdengarkan al-Qur’an), metode Resitasi (pemberian tugas menghafal), metode Muraja’ah/Takrir (mengulang hafalan secara terencana), metode Tafhim (menghafal dengan cara memahami makna ayat), metode menghafal sendiri, metode lima ayat lima ayat, metode Mudarasah (metode menghafal secara bergantian/saling menyimak antar siswa); (2) dalam penggunaan metode secara bergantian, sebaiknya dilakukan secara berurutan dan terencana dengan baik. Misalnya untuk materi harian sebelum siswa menyetorkan hafalan ayat yang baru kepada guru secara face to face, terlebih harus mengulang (takrir) yang disimak secara langsung oleh guru. Hal ini harus dilakukan secara istiqamah, terencana dan terjadwal.
Dapat disimpulkan bahwa aktivitas menghafal al-Qur’an hukumnya fardlu kifayah yang menjadikan seorang penghafal memiliki kedudukan mulia di dunia dan di akhirat, karena para penghafal alQur’an adalah orang-orang yang menjaga keaslian al-Qur’an dari kepalsuan dan kerusakan. Menghafal al-Qur’an merupakan bentuk jaminan Allah terhadap otentisitas al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah telah memudahkan umat Islam yang mau membaca, menghafal, dan menelaah al-Qur’an.
Meskipun demikian, masih terjadi kesulitan dan kegagalan di lembaga pendidikan Islam yang memiliki program menghafal al-Qur’an antara lain : lemahnya manajemen program tahfidz yang diterapkan oleh lembaga pendidikan, kurang aktifnya peran guru/instruktur tahfidz dalam membimbing dan memotivasi siswa penghafal al-Qur’an, mekanisme dan metode yang diterapkan oleh guru tahfidz, lemahnya dukungan orangtua, dan lemahnya kontrol dan motivasi atasan.
Referensi
Anis, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasit. Mesir : Dar al-Ma’arif, 1392 H.
Syihab, M. Qiraisy, Tafsir al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati, 2000. ———————, Menyingkap Tabir Ilahi Al-Asma Al-Husna dalam Perspektof Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati, 2006.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar ‘Ulum al-Qur’an/Tafsir, cet. ke-XIV. Jakarta :Bulan Bintang, 1992.
Wadji, Farid, Tahfiz al-Qur’an dalam Kajian Ulum Al-Qur’an (Studi atas Berbagai Metode Tahfiz), Tesis IUN Syarif Hidayatullah. Jakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Nawabuddin, ‘Abd al-Rabbi, Metode Efektif Menghafal Al-Qur’an, terjemah Ahmad E. Koswara, cet. ke-I. Jakarta : CV. Tri Daya Inti, 1992.
Surur, Bunyamin Yusuf, “Tinjauan Komparatif Tentang Pendidikan Tahfidz al-Qur’an di Indonesia dan Saudi Arabia”, Tesis, UIN Sunan Kalijaga. Yoyakarta : Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1994.
Al-Qurtubi, Syamsuddin, Tafsir al-Qurtubi, (Beirut: Muassasah Manahil al-Irfan, t.t.), juz 17.
Rasyidin, Landasan Pendidikan. Bandung, UPI Press, 2008.
http://www.republika.co.id
http://lilikimzi.wordpress.com.